Makalah Geografi Tanah
Dekomposisi dan Desintegrasi
Kelompok 1
Amor Setiawan
Apin Dila
Ika
Wahyu
Prodi pendidikan Geografi
Jurusan Geografi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dekomposisi merupakan salah satu tingkatan yang paling penting
dalam daur biogeokimia. Tingkat dekomposisi merupakan suatu keadaan ketika
unsur-unsur hara akan diserap kembali oleh tanaman, sebagian besar hara yang
dikembalikan adalah dalam bentuk serasah yang tidak dapat diserap langsung oleh
tumbuhan tetapi harus melalui proses dekomposisi terlebih dahulu. Proses
dekomposisi serasah antara lain dipengaruhi oleh kualitas serasah tersebut
(sifat fisik dan kimia) dan beberapa faktor lingkungan yang memiliki peran
penting seperti organisme dalam tanah, curah hujan, suhu dan kelembapan
tempat proses dekomposisi berlangsung (Tim Penyusun Penuntun Ekologi,
2016).
Dekomposisi merupakan proses penting dalam fungsi ekologi.
Organisme-organisme yang telah mati akan mengalami penghancuran
menjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil, dan akhirnya menjadi
partikel-partikel yang lebih kecil lagi (Arisandi,
2002). Serasah
dapat menciptakan lingkungan mikro setempat berbeda dengan pelepasan nutrisi
atau campuran phytotoxic selama pembusukannya, mengurangi erosi lahan
dan evapotranspiration (tetapi mungkin juga menahan curah hujan) dan mengurangi
temperatur tanah maksimum. Serasah juga dapat bertindak sebagai suatu faktor
mekanik, merusakkan atau membunuh semai ketika gugur ke tanah. Disana dapat
juga terjadi efek tidak langsung pada serasah daun, sebagai contoh, kelembaban
yang lebih tinggi di dalam lapisan serasah dapat menunjang pertumbuhan jamur
patogen yang dapat kemudian menyerang semai ssehingga menyebabkan
kegagalan tumbuh (Zamroni,
2008).
Dekomposisi merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap
bahan organik (bahan-bahan hayati yang telah mati). Tanaman yang gugur akan
mengalami dekomposisi dengan ciri-ciri daunnya hancur seperti tanah dengan
warna coklat kehitaman. Proses dekomposisi secara umum terjadi pada tiga
tahapan: tahap dekomposisi aerobik yang mendominasi seluruh proses,
prosesnya sangat pendek hal ini disebabkan karena jumlah oksigen yang terbatas,
BOD tinggi hasil sampah darat. Tahap kedua dari proses anerobik terjadi ketika
jumlah populasi bakteri methanoigenesis tinggi proses. Suhu dan kelembaban
udara mempengaruhi jatuhkan serasah tumbuhan. Naiknya suhu udara akan
menyebabkan menurunnya kelembaban udara sehingga transpirasi akan meningkat,
dan untuk menguranginya maka daun harus segera digugurkan (Salisbury,
1992 dalam Zamroni, 2008). Menurut Soeroyo
(2003) dalam Zamroni dan Immy 2008, faktor lain yang
mempengaruhi guguran serasah adalah curah
hujan. Dekomposisi berlangsung melalui transformasi
energi di dalam dan di antara organisme-organisme. Proses dekomposisi merupakan
fungsi yang sangat penting, sebab jika proses ini tidak terjadi, semua makanan
akan terikat pada tubuh-tubuh mati, dan dunia ini akan penuh oleh sisa-sisa dan
bangkai-bangkai. Penghancuran untuk setiap tumbuhan dan binatang mati tidak
sama. Lemak, gula, dan protein dapat segera dibusukkan akan tetapi selulosa,
lignin, kayu lama sekali dihancurkannya. Demikian juga chitin, rambut, dan tulang-tulang binatang sangat
sukar dihancurkan (Irwan, 2012 dalamSaputra, 2014).
Tahap-tahap dekomposisi adalah sebagai berikut :
1. Pembentukan butiran-butiran
kecil, sisa-sisa oleh aksi secara biologi.
2. Produksi humus yang relatif
cepat serta pelepasan organik-organik yang larut oleh saprotrop-saprotrop.
Irwan (2012) dalam Saputra, 2014 menyatakan dalam proses
dekomposisi dihasilkan pula berbagai berbagai zat kimia yang mempunyai dampak
positif sebagai perangsang pertumbuhan dan mempunyai dampak negative sebagai
penghambat pertumbuhan. Zat yang dihasilkan tersebut disebut dengan hormon
lingkungan. Seabagai mikroorganisme mempunyai fungsi di dalam ekosistem selain
untuk mengatur keperluan guna kelangsungan kehidupan sendiri adalah juga
sebagai :
1. Mineralisasi bahan-bahan organik
yang telah mati.
2. Menghasilkan makanan untuk
organisme lain.
3. Menghasilkan zat kimia yang disebut
dengan hormon lingkungan.
1.2. Tujuan dan Kegunaan
Percobaan bertujuan untuk mengetahui proses dan tingkat dekomposisi daun dari
beberapa vegetasi
pohon.
Percobaan diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang proses
dekomposisi serta faktor-faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi bahan
tanaman.
BAB II
ISI
2.1. Dekomposisi Secara Umum
Dekomposisi adalah perubahan fisik maupun kimiawi yang sederhana
oleh mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya) atau sering
disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal
dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa organik sederhana
(Sutedjo et al. 1991).
Dekomposisi merupakan proses yang sangat komplek yang melibatkan
beberapa faktor (Dezzeo et al. 1998 dalam Staf Unila
2012).
Sampah daun, ranting- ranting dan kayu yang mencapai
tanah akan membusuk dan secara bertahap akan dimasukkan ke dalam horizon
mineral tanah melalui aktivitas organisme tanah. Dekomposisi merupakan suatu
proses yang terjadi pada setiap bahan organik (bahan-bahan hayati yang telah
mati). Tanaman yang gugur akan mengalami dekomposisi dengan ciri-ciri daunnya
hancur seperti tanah dengan warna coklat kehitaman yang menunjukkan
tingkat dekomposisinya. Proses dekomposisi secara umum terjadi pada tiga
tahapan: tahap dekomposisi aerobik yang mendominasi seluruh proses,
prosesnya sangat pendek hal ini disebabkan karena jumlah oksigen yang terbatas,
BOD tinggi hasil sampah darat. Tahap kedua dari proses anerobik terjadi ketika
jumlah populasi bakteri methanoigenesis tinggi proses (Salisbury,
1992 dalam Zamroni, 2008).
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Dekompoisisi
Proses dekomposisi serasah antara lain dipengaruhi oleh kualitas
(sifat fisika dan kimia) serasah tersebut dan beberapa faktor lingkungan.
Faktor lingkungan yang terdiri dari organisme dalam tanah, curah hujan, suhu
dan kelembaban tempat dekomposisi berlangsung. Faktor penting yang berpengaruh
terhadap proses dekomposisi suatu bahan atau serasah adalah kualitas (sifat
fisika dan kimia). Tingkat kekerasan daun dan beberapa sifat kimia seperti
kandungan awal (initial content) lignin, selulosa, dan karbohidrat berpengaruh
terhadap tingkat dekomposisi serasah daun (Hardiwinoto,
1994).
Osono dan takeda (2006) dalam Saputra, 2014,
menambahkan bahwa kecepatan dekomposisi serasah daun dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah:
1) Tipe
serasah
Kandungan senyawa yang terkandung di dalam seresah seperti
kandungan lignin, selulosa, dan karbohidratnya. Tipe seresah mempengaruhi
kemampuan suatu mikroba untuk mendekomposisi senyawa-senyawa kompleks yang
terkandung di dalam seresah, dimana lignin akan lebih susah untuk
didekomposisi, selanjutnya selulosa dan gula sederhana adalah senyawa
berikutnya yang relatif cepat didekomposisi.
2) Temperatur
Donelly et al. (1990) dalam Saputra, 2014,
menyatakan bahwa kecepatan dekomposisi tertinggi ditunjukan pada suhu 24 ºC.
Suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisiologi
mikroorganisme yang hidup lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar
10oC akan meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali lipat
(Nontji et al., 1980). Akan tetapi penambahan suhu maksimal dapat
mematikan mikroorganisme pendegradasi seresah.
3) Pengaruh pH
Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH, dimana aktivitas
selulase yang tinggi menurut Kulp (1975), bahwa pH optimum untuk aktivitas
selulase kapang berkisar antara 4,5-6,5. Enzim pada umumnya hanya aktif pada
kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu enzim ditandai dengan
menurunnya aktivitas pada kedua sisi lainnya dari kurva yang disebabkan oleh
turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada aktivitas enzim
disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau substrat
sebagai akibat perubahan pH (Irawadi, 1991) dalam Saputra,
2014.
Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah pada permukaan
tanah berhubungan erat dengan laju dekomposisinya (pelapukannya). Semakin lebat
terdekomposisi maka keberadaannya dipermukaan tanah menjadi lebih lama
(Hairiah et al., 2000) dalam Saputra, 2014.
Barbour et al., (1987) dalam Saputra,
2014 mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu
ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh
kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari
serasah.
4) Iklim
Hal ini menjadi penting karena iklim dapat memperlambat
bahkan mempercepat terjadinya proses dekomposisiseperti curah hujan, angina,
dan suhu pada saat proses berlangsung (Bohn, 1979 dalam Saputra,
2014).
5) Tipe Penggunaan
Lahan
Tipe penggunaan lahan dimana lahan tersebut
berfungsi sebagai sumber bahan organik yang baik bagi lahan tersebut yaitu
ditumbuhi tanaman yang dapat mengalami dekomposisi (Bohn,
1979 dalam Saputra, 2014).
6) Bentuk
Lahan
Hal ini
membantu dekomposisi pada proses pengumpulan bahan-bahan organik
tersebut yaitu pada saat pengambilan bahan akan diperoleh bahan yang pada
daerah yang tidak terjal dimana bahan akan tertampung sedangkan pada daerah
yang mempunyai keemiringan tinggi kemungkinan bahan akan ikut dengan air hujan
menuju kebawah (Bohn, 1979 dalam Saputra, 2014).
7) Adanya Kegiatan
Manusia
Adanya kegiatan manusia ini
pun akan sangat berpengaruh pada terjadinya proses dekomposisi,, manusia
berperan sebagai orgaanisme yang mempercepat proses dekomposisi yaitu dengan
menambahkan bahan kimia yang dapat mempercepat proses dekomposisi (Bohn,
1979 dalam Saputra, 2014 ).
2.3. Keuntungan atau Pentingnya Proses Dekomposisi
Proses dekomposisi diperlukan karena memilki beberapa keuntungan
baik bagi tumbuhan ataupun kelangsungan daur ekosistem, adapun beberapa
keuntungan atau pentingnya proses dekomposisi yang dipoinkan
secara umum oleh Mater (2012) dan Indra (2008) yakni dapat dilihat
sebagai berikut:
1) Mengubah
sampah organik menjadi kompos,
2) Memanfaatkan
fauna tanah dan atau akar tanaman,
3) Meningkatkan
kesuburan tanah,
4) Mengandung
senyawa pengikat bahan toksin dalam air dan tanah,
5) Meningkatkan
kesuburan tanah, dan
6) Penghasil
sumber makanan untuk tumbuhan.
Desintegrasi
Proses desintegrasi
dapat disebabkan oleh pengaruh temperatur, air, dingin, cuaca dan glacier.
Meskipun akibat pengaruh sebenarnya sukar dibedakan. Satu sama lain.
Desintegrasi akibat
temperatur
Emerson (1920) dalam
Darmawijaya (1990) menyatakan bahwa batuan yang bertekstur kasar lebih mudah
mengalami desintegrasi daripada batuan yang bertekstur halus, sedang
mineral-mineral yang lebih berwarna kelam lebih banyak menyerap panas daripada
mineral yang berwarna cerah. Karena batuan tersusun atas berbagai mineral yang
mengalami koefisien ekspansi dan kontraksi berlainan, maka fluktuasi temperatur
menyebabkan pecahnya batuan menjadi butir-butir mineral tunggal.
Pengaruh temperatur
yang menentukan adalah tinggi temperatur mutlak dan frekuensi temperatur.
Pengaruh siinar
matahari sumber panas utama , yang langsung dinamakan isolasi. Polynov (1937)
menyatakan bahwa penyebab desintegrasi batuan padat yang langsung adalah
goyangan (fluktuasi) temperatur. langsung terkena radiasi matahari, karena
panasnya akan memuai, sedang dimalam hari yang dingin akan cepat mengkerut.
Desintegrasi akbat
air
Aliran air mempunyai
daya angkat yang cukup besar. Makin cepat air mengalir makin besar daya
angkatnya, sedang makin miring permukaan tanah makin cepat air mengalir.
Peristiwa banjir dapat dijadikan contoh betapa besarnya daya angkut ini.
Selanjutnya bahan yang terangkut dan hanyut menyebabkan proses pengikisan
batuan, sehingga batuan-batuan terpecah dan batu tajam menjadi bulat dan
mengikis permukaanya. Proses ini dinamakan abrasi. Jjika desintegrasi oleh
aliran air ini mengenai tanah, maka dinamakan erosi. Dapat dibedakan
antara erosi geologi (normal) dimana pengikisan tanah berlangsung lambat dan
dapat diimbangi oleh proses pembentukan tanah, dan erosi dipercepat (accelerated
erosion) atau secara populer diberi istilah erosi, dimana pengikisan sedemikian
cepatnya, sehingga tak dapat diimbangi oleh proses pembentukan tanah. Bentuk
erosi pertama mengakibatkan peremjaan tanah yang bersifat baik, sehingga bentuk
erosi kedua bersifat merusak dan membahayakan karena tanah yang dibentuk dalam
waktu beratus-ratus tahun dalam waktu beberapa jam dikikis habis. Contoh erosi
geologi ialah terbenntuknya tanah alluvial yang subur. Pada umumnya erosi erosi
menuju ke arah pendataran bentuk permukaan bumi dengan membentu peneplain.
Desintegrasi akibat
angin
Pengaruh angin
serupa dengan pengaruh aliran air. Aliran ngin selain disebabkan bentuk
permukaan bumi seperti aliran air juga diisebabkan perbedaan temperatur
tempat-tempat tertaentuangin dengan kecepatan besar mampu batuan dan
selanjutnya pengangkutan batuan tersebut sanggup pula mengikis dan memecahkan
batuan. Karena secara tak langsung proses desintegrasi ini merupakan akibat
perbedaan temperatur, maka proses ini sering terjadi di daerahkering seperti
gurun pasir.
BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Waktu pelaksanaan praktikum dasar-dasar ekologi dilaksanakan selama
dua bulan pada hari rabu, 7 September 2016, pukul 15.00-18.45 dan berakhir pada
bulan Oktober. Praktikum ini dilaksanakan pada Lab. Aglimatologi &
Statistika dan Teaching Farm (exfam).
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada pelaksanaan praktikum ekologi
adalah : cangkul, sekop, cutter, oven, timbangan dan alat tulis
menulis.
Sedangkan bahan yang digunakan pada pelaksanaan antara lain:
3 jenis daun (Bungur, Kupu-kupu, dan Ki Hujan), polybag (30 × 40) cm, label,
plastik gula, dan tanah.
3.3. Perlakuan
Perlakuan yang dicobakan adalah proses dekomposisi daun dari 3
jenis tanaman (A, B, dan C) masing-masing terdiri dari: daun segar yang dicacah
(1) dan daun kering yang dicacah (2) sehingga terdapat 6 perlakuan. Setiap
perlakuan, diambil masing-masing seberat 10g lalu dimasukkan ke dalam kantong
plastik untuk kemudian disimpan dalam
polybag.
3.4. Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan dalam praktikum adalah sebagai berikutL:
1. Menyiapkan polybag berisi
tanah bagian.
2. Menyiapkan 4 jenis daun
vegetasi pohon yang telah kering dan gugur.
3. Mencacah dan menimbang,
kemudian masukkan kedalam kantong plastik yang telah dilubangi, masing-masing 2
kantong.
4. Memerhatikan sifat fisik dan
kimia daun tersebut sebelum dicacah.
5. Memasukkan kantong ke dalam
polybag sesuai perlakuan lalu timbun dengan tanah hingga penuh.
6. Setelah 1 bulan, ambillah
kantong pertama pada setiap polybag, perhatikan kembali sifat fisik dan kimia
daun tersebut, keringkan dalam oven kemudian timbang beratnnya. Polybag
tersebut ditimbun kembali dengan tanah.
7. Setelah 2 bulan, ambillah
kantong kedua pada setiap polybag, perhatikan kembali sifat fisik dan kimia
daun tersebut, keringkan dalam oven kemudian timbang beratnya.
8. Komponen yang diamati yaitu
laju dekomposisi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel 1.1 Hasil penimbangan sebelum dan setelah oven (perlakuan 1)
Jenis Daun
|
Berat awal (gram)
|
Sebelum di oven
|
Setelah di oven
|
Bungur Kering
|
10
|
13,9 gram
|
9,5 gram
|
Bungur Basah
|
10
|
2,7 gram
|
1,0 gram
|
Kupu-kupu Kering
|
10
|
10,78 gram
|
8,5 gram
|
Kupu-kupu Basah
|
10
|
2,8 gram
|
1,2 gram
|
Ki Hujan Kering
|
10
|
11,5 gram
|
9,2 gram
|
Ki Hujan Basah
|
10
|
5,8 gram
|
2,4 gram
|
Tabel 1.2 Hasil penimbangan sebelum dan setelah oven (perlakuan 2)
Jenis Daun
|
Berat awal (gram)
|
Sebelum di oven
|
Setelah di oven
|
Bungur Kering
|
10
|
13,0 gram
|
10,48 gram
|
Bungur Basah
|
10
|
2,9 gram
|
1,30 gram
|
Kupu-kupu Kering
|
10
|
9,5 gram
|
8,86 gram
|
Kupu-kupu Basah
|
10
|
2,6 gram
|
1,18 gram
|
Ki Hujan Kering
|
10
|
10,1 gram
|
9,91 gram
|
Ki Hujan Basah
|
10
|
2,8 gram
|
2,49 gram
|
Tabel 1.3 Pengamatan fisik
Jenis Daun
|
Tekstur
|
Warna
|
Aroma
|
Bungur Kering
|
Lentur
|
Hijau ARMY
|
-
|
Bungur Basah
|
Kaku,padat
|
Hitam
|
-
|
Kupu-kupu Kering
|
Agak lentur
|
Coklat Kehijauan
|
-
|
Kupu-kupu Basah
|
Kaku, mudah pecah
|
Hitam
|
-
|
Ki Hujan Kering
|
Agak kaku
|
Coklat peru
|
-
|
Ki Hujan Basah
|
Lentur, lemas bila dikibaskan
|
Coklat
|
-
|
Tabel 1.4 Hasil laju dekomposisi perlakuan 1
Jenis Daun
|
Laju Dekomposisi sebelum di oven (%)
|
Laju Dekomposisi setelah di oven (%)
|
Bungur Kering
|
-13
|
14,67
|
Bungur Basah
|
24,33
|
5,67
|
Kupu-kupu Kering
|
-2,6
|
7,6
|
Kupu-kupu Basah
|
24
|
5,3
|
Ki Hujan Kering
|
-5
|
7,67
|
Ki Hujan Basah
|
14
|
11,33
|
Tabel 1.5 Hasil laju dekomposisi perlakuan 2
Jenis Daun
|
Laju Dekomposisi sebelum di oven (%)
|
Laju Dekomposisi setelah di oven (%)
|
Bungur Kering
|
-5
|
4.2
|
Bungur Basah
|
11,83
|
2,67
|
Kupu-kupu Kering
|
0,83
|
1,07
|
Kupu-kupu Basah
|
12,33
|
2,37
|
Ki Hujan Kering
|
-0,17
|
0,32
|
Ki Hujan Basah
|
12
|
0,52
|
4.2. Pembahasan
Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui hasil penimbangan sebelum dan
setelah di oven untuk perlakuan 1 dengan masing-masing berat awal vegetasi 10
gram. Berat vegetasi berturut-turut sebelum oven 13,9 gram, 2,7 gram, 10,78
gram, 2,8 gram, 11,5 gram dan 5,8 gram sedangkan berat setelah oven
berturut-turut 9,5 gram, 1,0 gram, 8,5 gram, 1,2 gram, 9,2 gram, 2,4 gram.
Berdasarkan tabel 1.2 dapat diketahui hasil penimbangan sebelum dan
setelah di oven untuk perlakuan 2 dengan masing-masing berat awal vegetasi 10
gram. Berat vegetasi berturut-turut sebelum oven 13,0 gram, 2,9 gram, 9,5 gram,
2,6 gram, 10,1 gram dan 2,8 gram sedangkan berat setelah oven
berturut-turut 10,48 gram, 1,30 gram, 8,86 gram, 1,18 gram, 9,91 gram, 2,49
gram.
Secara umum kedua perlakuan memiliki ciri-ciri dan warna yang sama
yaitu pada tekstur bungur kering memiliki tekstur yang lentur dan berwarna
hijau ARMY, bungur basah memiliki tekstur yang kaku, padat dan berwarna hitam,
kupu-kupu kering memiliki tekstur yang agak lentur dan berwarna coklat
kehijauan, kupu-kupu basah memiliki tekstur yang kaku, mudah pecah dan berwarna
hitam, ki hujan kering memiliki tekstur yang agak kaku dan berwarna coklat
peru, dan ki hujan basah memiliki tekstur yang lentur, lemas bila dikibaskan
dan berwarna coklat.
Pada perlakuan 1 tabel 1.4 memberi informasi laju dekomposisi
sebelum dan sesudah oven. Laju dekomposisi sebelum oven berturut-turut -13;
24,33; -2,6; 24; -5; dan 4 sedangkan laju dekomposisi setelah oven
berturut-turut 14,67; 5,67; 7,6; 5,3; 7,67; dan 11,33.
Pada perlakuan 2 tabel 1.5 memberi informasi laju dekomposisi
sebelum dan sesudah oven. Laju dekomposisi sebelum oven berturut-turut -5;
11,83; 0,83; 12,33; -0,17; dan 12 sedangkan laju dekomposisi setelah oven
berturut-turut 4,2; 2,67; 1,07; 2,37; 0,32; dan 0,52.
Berdasarkan data tabel 1.1. dan 1.2 diatas dapat dilihat bahwa
perbandingan antara perlakuan 1 dan perlakuan 2 dimana bobot kering serasah
cenderung hanya memiliki perbandingan yang tidak terlalu signifikan karena
lingkungan yang digunakan sama walaupun jenis substrat berbeda hal ini sejalan
dengan hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Syamsurisal
(2011), yang menyatakan bahwa kelimpahan mikroba (dekomposer) banyak
terdapat di daerah muara sungai yang bersubstrat lumpur yang mengandung
banyak bahan organik.
Berdasarkam data tabel 1.3 diatas dapat pula ditentukan laju dekomposisi
dimana daun dengan warna yang lebih terang atau terlalu gelap dan tekstur mudah
pecah dan kaku laju dekomposisi cendrung lambat yang dapat digunakan
sebagai tolak ukur kandungan lignin, selulosa dan karbohidrat. Dimana lignin
adalah senyawa yang sulit terdekomposisi. Hal ini sejalan dengan
yang dinyatakan Yustian (2010) kecepatan pelapukan daun ditentukan oleh warna,
sifatnya ketika diremas dan kelenturannya. Warna daun kering coklat, daun tetap
lemas bila diremas, bila dikibaskan daun tetap luntur berarti daun tersebut
cepat lapuk. Apabila warna daun kering kehitaman, bila diremas pecah dengan
sisi yang tajam dan bila dikibaskan kaku maka daun tersebut lambat lapuk.
Kualitas serasaah yang beragam akan menentukan tingkat penutupan permukaan
tanah oleh serasah. Kualitas serasah berkaitan dengan kecepatan pelapukan
serasah (dekomposisi). Semakin lambat lapuk maka keberadaan serasah dipermukaan
tanah menjadi lebih lama.
Berdasarkan data tabel 1.4 dan 1.5 laju dekomposisi lebih cepat
pada perlakuan 1 karena lama waktu yang digunakan pada perlakuan 1 jauh lebih
singkat dibanding perlakuan 2 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, faktor
waktu, suhu dan lingkunag dalam pengukuran dekomposisi serasah daun
memiliki pengaruh sangat nyata terhadap laju penghancuran serasah. Karena
factor waktu berkaitan sangat erat dengan faktor lingkungan, maka dapat
dinyatakan bahwa factor lingkungan sangat nyata pengaruhnya terhadap laju
dekomposisi serasah. (Setiadi, 1989 dikutip oleh Rismunandar, 2000)
menyatakan bahwa proses dekomposisi bahan organik di dalam tanah
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Peningkatan suhu tanah
dapat merangsang kegiatan metabolisme flora mikro untuk mempercepat
lajunya proses mineralisasi (perombakan bahan organik menjadi CO2 dengan demikian
akan terdapat suatu peningkatan di dalam laju arus energi di dalam
sistemnya).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dilapangan selama
beberapa minggu dan setelah dilakukan penovenan maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Setelah praktikum dapat
diketahui proses dan tingkat dekomposisi pada beberapa jenis vegetasi pohon.
2. dapat diketahui faktor yang
mempengaruhi kecepatan laju dekomposisi yaitu kandungan serasah itu sendiri,
lingkungan, dan beberapa faktor lainnya.
5.2. Saran
Pada
pelaksanaan praktikum sebaiknya harus benar-benar memperhatikan aturan yang
ditetapkan pada praktikum misalnya pada pencacahan daun diberikan arahan agar
memotong daun hingga benar-benar kecil dan tidak memberikan ruang udara pada
vegetasi dalam plastik sebelum waktu penanaman di plot.