MAKALAH AGAMA
7 HAL YANG DITAKUTKAN OLEH
MANUSIA
Penyusun :
Amor Setiawan
XII IPS 4
SMA Negeri 1 Sarolangun
Tahun Ajaran
2017/2018
1. Pembahasan
7 hal yang ditakutkan oleh manusia
Antara lain ;
1.1 Sakit
Semua orang pasti pernah mengalami sakit, entang itu sakit
ringan maupun sakit yang cukup serius, hal ini memang sudah manusiawi. Karena
sebagai manusia biasa, dengan seiring berjalannya waktu tentu akan mengalami
penurunan kondisi fisik yang disebabkan oleh banyak faktor, sehingga penurunan
tersebut menyebabkan seseorang menjadi sakit.
Dibalik penyakit yang kita alami, tentu mengandung hikmah
yang sangat berharga bagi si penderita khususnya dan bagi orang lain pada
umumnya. Allah SWT pasti menyimpan hikmah di balik setiap sakit yang kita
alami. Allah SWT menakdirkan kita untuk sakit, pasti ada alasan tersendiri yang
menjadi penyebab semua itu. Tidak mungkin Allah SWT melakukan sesuatu tanpa
sebab yang mendahuluinya atau tanpa hikmah di balik itu semua . Oleh karena
itu, sebaiknya kita untuk selalu menerima, ikhlas dan bersabar atas apa yang
dikaruniakan oleh-Nya kepada kita, termasuk dikaruniai penyakit.
Nah, agar lebih menerima dan ikhlas atas sakit yang
ditakdirkan kepada diri kita, pada kesempatan ini marilah bersama-sama memahami
lebih jauh tentang makna dan hikmah dibalik penyakit yang Allah berikan,
khususnya dalam pandangan islam.
Memahami
Hikmah dan Makna Sakit dalam Pandangan Islam
A.
Sakit
Adalah Ujian
Allah
SWT berfirman dalam Al-Quran;
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.” (QS.
Al-Baqarah: 155-156).
Dalam
ayat yang lain, Allah juga berfirman,
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan”. (QS. Al-Anbiyaa`: 35)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya, karena itu Kami
jadikan dia mendengar dan melihat”. (QS. Al-Insaan:2)
Begitulah Allah SWT menguji manusia, untuk melihat siapa di
antara hambaNya yang memang benar-benar berada dalam keimanan dan kesabaran.
Karena sesungguhnya iman bukanlah sekedar ikrar yang diucapkan melalui lisan,
tapi juga harus menghujam di dalam hati dan teraplikasian dalam kehidupan oleh
seluruh anggota badan.
Allah SWT menegaskan bahwa Dia akan menguji setiap orang
yang mengaku beriman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya
kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta”. (QS. Al-Ankabuut: 2-3)
Semua
ujian yang diberikan-Nya semata-mata hanya agar hamba-Nya menjadi lebih baik di
hadapanNya. Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda : "Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, maka Dia akan
menguji dan menimpakan musibah kepadanya". (HR. Bukhari).
Dari
Anas ibn Malik radhiyallahu ’anhu diriwayatkan bahwa ia menceritakan :
Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda :
"Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan
melalui cobaan yang besar pula. Kalau Allah mencintai seseorang, pasti Allah
akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang ridha menerima cobaanNya,
maka ia akan menerima keridhaan Allah. Dan barangsiapa yang kecewa menerimanya,
niscaya ia akan menerima kermurkaan Allah". (HR. Tirmidzi)
B.Sakit adalah Adzab
Bagi
seorang mu`min sakit dapat menjadi tadzkirah atau ujian yang akan mendekatkan
dirinya kepada Allah SWT. Namun bagi sebagian orang, sakit bisa menjadi adzab
yang akan membinasakan dirinya.
Allah
SWT berfirman;
"Katakanlah:
"Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu
atau dari bawah kakimuatau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang
saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian
yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami
silih bergantiagar mereka memahami(nya)"" (QS. Al-An’aam: 65)
"Dan
sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian adzab yang kecil di dunia
sebelum adzab yang lebih besar di akhirat, mudah-mudahan mereka kembali ke
jalan yang benar." (QS. As-Sajdah: 21)
Maka dari itu, pertaubatan adalah langkah nyata menuju
kesembuhan. Seseungguhnya, segala macam bencana yang menimpa kita, pada
hakikatnya adalah karena perbuatan kita sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman, artinya, "Apa saja musibah yang
menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy-Syura:
30)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini,
beliau berkata;
“Allah
SWT memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri,
harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain
sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka
lakukan.”
Dari
‘A`isyah radhiyallahu ‘anha ia berkata;
"Aku
mendengar Rasulallah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “Tidaklah seorang
muslim tertimpa musibah walau hanya tertusuk duri, kecuali Allah akan mencatat
baginya kebaikan dan dihapus baginya kesalahan dan dosanya." (HR.Muslim)
Ingatlah bahwa adzab yang diturunkan Allah SWT terhadap
seseorang di dunia bisa berbagai macam bentuknya. Kekurangan harta, bencana
alam, peperangan, sakit, atau bahkan kematian. Cukuplah kiranya pelajaran kaum
terdahulu yang diadzab oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan berbagai macam
penyakit yang aneh dan sulit disembuhkan. Hal itu dikarenakan mereka tetap
bertahan di dalam kekafiran, padahal bukti-bukti dan tanda-tanda kebesaran-Nya
telah ditampakkan di hadapan mereka.
C .Sakit Sebagai Penebus Dosa dan Kesalahan
Sakit merupakan penebus berbagai dosa dan menghapuskan
segala kesalahan, sehingga sakit menjadi sebagai balasan keburukan dari apa
yang dilakukan hamba, lalu dihapus dari catatan amalnya hingga menjadi ringan
dari dosa-dosa. Hal itu berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, di
antaranya hadits Jabir bin Abdullah r.a.
sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw
bersabda:
“Tidaklah
sakit seorang mukmin, laki-laki dan perempuan, dan tidaklah pula dengan seorang
muslim, laki-laki dan perempuan, melainkan Allah Swt menggugurkan
kesalahan-kesalahannya dengan hal itu, sebagaimana bergugurannya dedaunan dari
pohon.” (HR. Ahmad, 3/346).
Sebagian orang menduga bahwa keutamaan dan pahala yang
terdapat dalam hadits tersebut dan yang semisalnya, hanya diperuntukkan bagi orang
yang menderita sakit berat atau sakit parah, atau yang tidak bisa diharapkan
lagi kesembuhannya saja, padahal sebenarnya berbeda dengan dugaan ini, karena
seorang hamba akan mendapat pahala dari musibah yang menimpanya, sekalipun
hanya sakit ringan, selama ia tetap sabar dan selalu meminta pahala.
Tidak
disangsikan lagi bahwa setiap kali musibahnya lebih besar dan sakitnya sangat
berat, maka akan bertambahlah pahalanya, akan tetapi sakit ringan juga tetap
akan mendapat pahala.
D. Sakit akan Mengangkat Derajat dan Menambah Kebaikan
Sesungguhnya sakit akan mengangkat derajat dan menambah
kebaikan. Dalil-dalil tentang hal itu diantaranya hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkatasesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
"Tidak
ada seorang muslimpun yang tertusuk duri, atau yang lebih dari itu, melainkan
ditulis untuknya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan" (HR.
Muslim no. 2572).
Maka jelaslah dari penjelasan nash-nash ini bahwa disamping
menghapuskan kesalahan, juga diperoleh peningkatan derajat dan tambahan
kebaikan. Imam an-Nawawi rahimahullah memberikan komentar atas hadits di atas,
bahwa terdapat kabar gembira yang besar bagi kaum muslimin, bahwa tidak
berkurang sedikitpun dari diri mereka, dan di dalamnya dijelaskan tentang
penebus berbagai kesalahan dengan segala penyakit, segala musibah dunia dan
duka citanya, sekalipun kesusahan itu hanyalah sedikit. Dan di dalamnya
dijelaskan pula tentang pengangkatan derajat dengan perkara-perkara ini dan
tambahan kebaikan (Syarh an-Nawawi atas Shahih Muslim 16/193).
E.Sakit Merupakan Sebab untuk Mencapai Kedudukan yang Tinggi
Hal
itu diindikasikan oleh hadits Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah Saw
bersabda:
"Sesungguhnya
seseorang akan memperoleh kedudukan di sisi Allah Swt, ia tidaklah
memperolehnya dengan amalan, Allah Swt senantiasa terus mengujinya dengan
sesuatu yang tidak disukainya, hingga ia memperolehnya" (HR. Al-Hakim dan
ia menshahihkannya 1/495).
F. Sakit Merupakan Bukti bahwa Allah SWT Menghendaki Kebaikan Terhadap Hamba-Nya
Hal itu ditunjukkan oleh bebreapa hadits-hadits berikut ini
:
Hadits
Shuhaib bin Sinan r.a, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
“Sungguh
mengagumkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua perkaranya menjadi
kebaikan, dan hal itu tidak pernah terjadi kecuali bagi seorang mukmin: jika ia
mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya, dan
jika ia mendapatkan musibah, ia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya”
(HR. Muslim no. 2999).
Hadits
Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa
yang Allah SWT menghendaki kebaikan dengannya, niscaya Dia menimpakan musibah
kepadanya” (HR. al-Bukhari No.5645).
Hadits
Anas bin Malik r.a. dari Nabi Saw, beliau bersabda:
“Sesungguhnya
besarnya balasan disertai besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah Swt
mencintai suatu kaum, Dia mencoba mereka, barangsiapa yang ridha maka untuknya
keridhaan dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan” (HR. at-Tirmidzi
no. 5645).
G.Sakit Membawa Manusia kepada Muhasabah (Introspeksi Diri)
Sesungguhnya sakit membawa kepada muhasabah (introspeksi
diri) dan tidak sakit membuat orang terperdaya. Hukum ini berdasarkan
kebiasaan, pengalaman dan realita. Sesungguhnya apabila seseorang menderita
sakit, ia akan kembali kepada Rabb-nya, kembali kepada petunjuk-Nya, dan
memulai untuk melakukan intropeksi terhadap dirinya sendiri atas segala
kekurangan dalam ketaatan, dan menyesali tenggelamnya dia dalam nafsu syahwat,
perbuatan haram serta penyebab-penyebab yang mengarah kepadanya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Musibah
yang engkau terima dengannya terhadap Allah SWT lebih baik bagimu daripada
nikmat yang membuatmu lupa untuk berdzikir kepada-Nya. (Tasliyatu ahli
al-Masha`ib).
H.Sakit menjadi Penyebab Kembalinya Hamba kepada Rabb-Nya
Bagian
ini merupakan pelengkap bagian sebelumnya, cobaan merupakan penyebab kembalinya
hamba kepada Rabb mereka, yaitu pada saat Dia menghendaki kebaikan terhadap
mereka. Karena inilah, Allah Swt berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَآ إِلَى أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ
فَأَخَذْنَاهُم بِالْبَأْسَآءِ وَالضَرَّآءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ
Artinya :
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum
kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan
kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan
diri. (QS. Al-An’aam: 42)
Dan Allah Swt berfirman:
وَبَلَوْنَاهُم بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya :
Dan
Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk,
agar mereka kembali (kepada kebenaran). (QS. Al-A’raaf: 168)
I.Sesungguhnya Sakit itu Memperbaiki Hati
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
Hati
dan ruh mengambil manfaat dengan penyakit dan penderitaan, yang tidak bisa
dirasakan kecuali oleh orang yang memiliki kehidupan, sehingga kesehatan hati
dan ruh digantungkan atas penderitaan badan dan tekanannya (Syifa`ul ‘alil
524).
Beliau juga mengatakan, “Sebagaimana yang telah diketahui,
sesungguhnya jika bukan karena berbagai cobaan dunia dan musibahnya, niscaya
hamba mendapatkan berbagai penyakit sombong, bangga diri, dan keras hati, yang
menjadi penyebab kebinasaannya, baik yang cepat (di dunia) maupun yang tertunda
(di akhirat)".
Maka kalau bukan karena Allah SWT mengobati
hamba-hamba-Nya dengan berbagai obat cobaan dan ujian, niscaya mereka akan
berbuat zalim dan melampuai batas. Dan apabila Allah Swt menghendaki kebaikan
kepada hamba-Nya, Dia menuangi obat dari cobaan dan ujian menurut kadar
kondisinya, dan mengosongkan dengannya dari penyakit-penyakit yang
membinasakan, sehingga apabila Dia telah membersihkannya, Dia menempatkannya
untuk martabat paling mulia di dunia, yaitu penghambaan, dan pahala tertinggi
di akhirat, yaitu melihat-Nya dan dekat dengan-Nya. (Syaifaul Ghalil hal. 524).
J.Sesungguhnya Sakit Mengingatkan Hamba Terhadap Nikmat Sehat
Terkadang
seseorang akan terlena dengan kesehatan dalam waktu yang panjang, sehingga ia
melupakan bertafakkur tentang kebesaran nikmat ini dan lalai dari bersyukur
kepada Allah Swt. Maka ia dicoba dengan sakit, sehingga mengenal kadar yang
besar tersebut, karena sakit membuatnya tidak bisa memperoleh kepentingan agama
dan dunia, karena itulah, Nabi Saw bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ
النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَاْلفَرَاغُ
Artinya :
Dua nikmat yang membuat manusia banyak terperdaya olehnya: nikmat sehat dan waktu luang. (HR. al-Bukhari No.6412)
Dua nikmat yang membuat manusia banyak terperdaya olehnya: nikmat sehat dan waktu luang. (HR. al-Bukhari No.6412)
1.2 Menjadi Tua / Menua
"Allah
menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang
dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui
lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Kuasa" An Nahl : 70
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadiannya. Maka apakah mereka tidak memikirkan? Yaasiin : 68
Setelah hidup selama empat atau lima puluh tahun dekade, tubuh seseorang mulai mengalami perubahan tertentu. Kulitnya keriput, rambutnya beruban dan akan rontok, tubuhnya kehilangan energi, metabolisme tubuhnya melambat, indera pendengaran dan penglihatannya melemah dan mulai pikun. Alasan dari semua perubahan itu yang diakhiri kematian dinamakan “menjadi tua”. Apakah Anda pernah berpikir mengapa manusia menjadi tua?
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadiannya. Maka apakah mereka tidak memikirkan? Yaasiin : 68
Setelah hidup selama empat atau lima puluh tahun dekade, tubuh seseorang mulai mengalami perubahan tertentu. Kulitnya keriput, rambutnya beruban dan akan rontok, tubuhnya kehilangan energi, metabolisme tubuhnya melambat, indera pendengaran dan penglihatannya melemah dan mulai pikun. Alasan dari semua perubahan itu yang diakhiri kematian dinamakan “menjadi tua”. Apakah Anda pernah berpikir mengapa manusia menjadi tua?
Jika tubuh manusia tidak terdiri dari tulang dan daging,
menurunnya kondisi tubuh manusia tidak akan terlalu cepat. Karena daging dan
lemak berasal dari materi yang rusak dalam beberapa jam jika disimpan di suhu
ruangan. Berikutnya, kita akan mengamati urutan usia tua yang merupakan sebuah
proses yang tidak dapat seorangpun hindari. Saat seseorang bertambah usia,
kulit kehilangan keelastisannya karena struktur protein yang merupakan bahan
baku ”rangka tubuh” di lapisan bawah kulit menjadi sensitif dan lemah.
Kekuatan tulang juga penting bagi tubuh manusia. Upaya untuk mendapatkan postur yang tegak jarang sekali berhasil dilakukan orang-orang tua, sementara akan lebih mudah untuk orang muda. Berjalan dengan postur membungkuk, seseorang akan kehilangan kesombongan, memberikan pesan bahwa dia tidak lagi memiliki kemampuan bahkan untuk mengontrol tubuhnya sendiri. Oleh karena itu, hal ini juga merupakan pertanda hilangnya kepercayaan diri dan keanggunan.
Gejala penuaan tidak hanya sebatas itu, orang tua lebih mudah kehilangan fungsi indera karena sel syaraf berhenti memperbarui diri setelah usia tertentu. Orang-orang tua mengalami disorientasi ruang karena melemahnya indera penglihatan sebagai respon dari intensitas cahaya.
Akhir
yang tidak dapat dihindari dengan cara apapun
Sementara para ilmuwan mengembangkan berbagai teori tentang penuaan, penuaan itu sendiri tidak dapat dihindari dari setiap manusia dan tidak ada seorang pun yang mampu melawan penuaan dengan cara apapun. Walaupun penelitian anti-penuaan memberikan kontribusi penuaan yang cukup lambat dan dapat memberikan beberapa jalan keluar untuk masalah yang berhubungan dengan penuaan, tidak ada jalan keluar pasti untuk penuaan.
Di
dalam Alqur’an Allah SWT menjelaskan waktu antara kelahiran dan kematian
sebagai berikut :
Dialah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak, kemudian dibiarkan kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. Tetapi di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. Kami perbuat demikian agar kamu sampai kepada kurun waktu yang ditentukan, agar kamu mengerti. (Surat Al-Mu’min : 67)
Dengan berjalannya waktu, seseorang harus menghadapi kelemahan yang dihubungkan dengan usia tua. Menjadi tua adalah pertanda penting bagi kelemahan manusia. Di dalam Alqur’an Allah Subhanahu Wata'ala menjelaskan situasi orang tua yang pikun dengan “tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah diketahuinya” An Nahl : 70
Dialah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak, kemudian dibiarkan kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. Tetapi di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. Kami perbuat demikian agar kamu sampai kepada kurun waktu yang ditentukan, agar kamu mengerti. (Surat Al-Mu’min : 67)
Dengan berjalannya waktu, seseorang harus menghadapi kelemahan yang dihubungkan dengan usia tua. Menjadi tua adalah pertanda penting bagi kelemahan manusia. Di dalam Alqur’an Allah Subhanahu Wata'ala menjelaskan situasi orang tua yang pikun dengan “tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah diketahuinya” An Nahl : 70
Semuanya adalah takdir Allah Subhanahu Wata'ala
Seperti halnya kelahiran, ada dari sesuatu yang tadinya tidak ada, kematian juga merupakan takdir. Kehidupan seseorang adalah sesuatu yang ditakdirkan kepadanya; sama halnya dengan kelahiran dan kematiannya, yang dilakukan seumur hidupnya juga lebih banyak berada di bawah kontrol / kendali / kekuasaan Allah Subhanahu Wata'ala, barang siapa yang mencari kesesatan dan berbuat kejahatan maka akan mendapatkan kesesatan dan balasan atas kejahatannya, tidak hanya didunia, kelak dihari pengumpulan pun akan dimintakan pertanggung jawaban atas tindakannya, kecuali mereka yang telah bertaubat dan menetapi kebenaran (al ayat). Untuk alasan itu, manusia harus sangat cermat hidup berdasarkan moralitas Alqur’an yang dijelaskan sebagai berikut :
Katakanlah “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. (Surat Al-An’am : 162)
1.3 Kesendirian
Hingar bingar dunia seringkali melenakan manusia.
Keindahannya dibalut dalam keramaian yang penuh dengan kepentingan. Bagi yang
tiada terbiasa, begitu kesendirian itu tiba, sejenak mereka akan merasa
terpojok pada keadaan yang sangat menjemukan. Tapi justru sebenarnya disanalah
nikmat itu berada. Kasih sayang Allah menanti kita untuk mendekat. Semua
tergantung kepada keputusan diri kita untuk menyambutnya atau tidak.
Bahkan batinpun butuh istirahat, butuh
nutrisi lebih untuk menahkodai langkah kita selalu menuju jalan yang benar.
Mereka butuh sejenak, untuk mereview laporan kebaikan dan kebandelan kita
sebagai “anak buahnya”, kepada Allah SWT. Ternyata kesendirian membawa nikmat
bagi hati hati yang merasa tiada pernah sendiri. Ternyata kesedirian tak
selamanya mematikan. Tanyalah kepada para pecinta malam yang terhanyut dalam
sholat dan keintiman dengan Robb mereka. Betapa nikmatnya karunia sebuah air
mata itu. Air mata penyesalan dan permohonan keampunan atas dosa dan
kekhilafan.
Ternyata kesendirian tak selamanya
menyakitkan. Tanyakan saja kepada para “penyalur” rezeki. Mereka memilih untuk
hanya memberi tahu diri mereka sendiri, atas apa yang mereka berikan kepada
orang lain. Tak perlu beramai ramai apalagi dengan pengumuman. mereka melakukan
sesuatu untuk hanya diketahui oleh yang maha mengetahui.
Ternyata
kesendirian adalah menyelamatkan. Tanyakan saja pada para manusia penyimpan aib
sodara mereka. tiada waktu lebih untuk mencela kesalahan manusia lain. yang ada
adalah belajar dari kesalahan mereka dan terus memperbaiki diri sendiri. Ternyata
Kasih sayang Allah SWT itu unik untuk disampaikan.
Dalam kesendirian Allah SWT memberi jeda
waktu untuk penyegaran nurani dan “benafas” kembali diri kita dalam pertemuan
hangat dengannya, sebelum kita memulai langkah baru menghadapi tantangan dunia.
Ternyata Kasih sayang Allah SWT itu unik untuk direnungkan.
Dalam kesendirian kita diajarkan menjadi
sahabat bagi diri sendiri. Dan hal itu adalah memang yang paling masuk akal.
Bukan tak boleh meminta bantuan kepada sesama, tapi akan lebih baik jika kita
mengharuskan berdiri dengan kaki sendiri. dan dikala terjatuhpun, kita harus
mampu membangkitkan diri.
Mencoba ramah
pada kesendirian, mungkin akan lebih baik dan berarti. Ya, akan lebih berarti
disaat keadaan dan dunia tak bersahabat dengan kita. Berusaha menjadi sahabat
terbaik bagi diri sendiri entah dalam keramaian ataupun kesendirian adalah
sebuah anugrah. Karena kita sendirilah pemeran utamanya, pemimpin dari diri
sendiri dan yang paling mengerti isi hati.
Ternyata kesendirian membawa nikmat bagi
hati hati yang merasa tiada pernah sendiri. Karena mereka percaya bahwa Allah
selalu menemani.
1.4
Kegelapan / Takut Malam
Gelap
Sifat malam
yang sudah diketahui oleh semua orang sejak jaman dahulu adalah gelap. Dalam Al
Qur’an, malam dijadikan Tanda kekuasaan Allah bagi manusia (36:37). Dijelaskan
dalam ayat tersebut, siang ditarik dari malam. Maksudnya, siang berganti
menjadi malam. Dan kemudian, yang terlihat adalah
keadaan yang gelap. Pelajaran yang bisa diambil dalam konteks makalah ini
adalah bahwa malam bersifat gelap.
36:37.
And a Sign for them is the night. We withdraw from it the day. Then
behold! They are in
darkness. (Dan suatu Tanda bagi mereka
adalah malam. Kami menarik darinya siang hari. Kemudian lihatlah! Mereka dalam kegelapan.) (versi Abdullah Yusuf Ali) Berubah
Secara Perlahan-lahan.
Walaupun malam
bersifat gelap, pendefinisian malam yang hanya menggunakan sifat gelap
mempunyai masalah. Pada intensitas cahaya berapa lux suatu
keadaan disebut gelap? Pertanyaan ini sulit dijawab karena intensitas cahaya
matahari berubah secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Intensitas cahaya
semakin meningkat seiring dengan peningkatan sudut yang dibentuk oleh permukaan
bumi dan sumber cahaya. Pada posisi tepat di atas kepala, intensitas cahayanya
paling besar. Hal ini menyebabkan keadaan pada pertengahan siang akan lebih
terang daripada ketika matahari baru terbit atau menjelang matahari terbenam.
Demikian pula, setelah matahari terbenam, keadaan akan terasa masih belum gelap
sekali. Perlahan-lahan, keadaan tersebut akan berangsur-angsur menjadi gelap.
Perubahan
intensitas cahaya yang bersifat perlahan-lahan ini akan menyulitkan kita untuk
memisahkan keadaan gelap dan terang kecuali jika menggunakan kriteria buatan
manusia. Mungkin, ada orang yang menganggap, hari telah gelap jika cahaya
matahari telah hilang. Anggapan ini masih menimbulkan pertanyaan. Bukankah
keadaan 1, 5, atau 10 menit sebelum cahaya matahari hilang masih terasa gelap?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dibutuhkan suatu batas intensitas cahaya
yang ditentukan oleh manusia. Misalnya, jika intensitas cahaya kurang dari
sekian lux, keadaan disebut gelap. Persoalannya, jika itu
dilakukan, kita akan mempunyai definisi malam menurut manusia, bukan menurut Al
Qur’an. Oleh sebab itu, penggunaan intensitas cahaya hasil pengukuran
dengan lux meteratau alat ukur lainnya atau hasil
perkiraan manusia tidak bisa digunakan untuk mendefinisikan gelap menurut Al
Qur’an.
Meskipun
demikian, mungkin ada yang berpendapat bahwa perubahan dari siang (yang
bersifat terang) menjadi gelap bersifat tiba-tiba. Ayat pendukungnya adalah
36:37, terjemahan versi Othman Ali dan versi Depag RI. Dalam kedua versi
terjemahan tersebut disebutkan tiba-tiba dan dengan
serta merta yang bermakna secara drastis. 36:37. Dan satu ayat bagi mereka ialah
malam; Kami menanggalkan siang darinya, dan tiba-tiba, mereka dalam
kegelapan. (versi Othman Ali)
36:37. Dan
suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami
tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka
berada dalam kegelapan. (versi Depag RI)
Malam Masuk
ke dalam Siang
Waktu dalam sehari dikelompokkan
menjadi dua kelas utama, yaitu siang dan malam. Penjelasannya adalah sebagai
berikut. Dijelaskan dalam 22:61; 57:6; 31:29;
3:27; dan 35:13 bahwa malam masuk ke dalam siang dan siang masuk ke dalam
malam. Untuk menafsirkannya, kita fokuskan pada kata masuk.
Kata masukbermakna keadaan suatu benda berada di dalam benda yang
lain. Dalam hal ini, siang yang masuk ke dalam malam akan menjadi berada di
dalam malam, dan sebaliknya.
22:61. Yang demikian itu, adalah karena
sesungguhnya Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan
memasukkan siang ke dalam malam dan bahwasanya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.(versi Depag RI)
57:6. Dialah yang
memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia
Maha Mengetahui segala isi hati. (versi Depag RI)
31:29. Tidakkah kamu memperhatikan,
bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan
siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan
masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (versi Depag RI)
3:27. Engkau
masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau
keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang
hidup. Dan Engkau beri
rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." (versi Depag RI)
35:13.
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang
ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang
yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis
kulit ari. (versi Depag RI)
Diterangkan
dalam 7:54 bahwa Allah menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan
cepat. Ini berarti bahwa siang akan tertutup oleh malam. Dengan kalimat lain,
siang menjadi tidak kelihatan. Oleh karena itu, ketika malam, siang tidak ada.
Sampai di sini dapat dimengerti bahwa tidak ada waktu campuran siang dan malam
atau waktu setengah siang setengah malam, atau waktu peralihan atau waktu
pertengahan antara siang dan malam.
7:54.
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. Dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya
pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha
Suci Allah, Tuhan semesta alam. (versi Depag RI)
Allah
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat (7:54). Kalimat
ini membutuhkan kehati-hatian dalam menafsirkannya karena dapat bermakna
berbeda tergantung pada cara memenggal kalimatnya. Pertama, yang berlangsung
dengan cepat adalah peristiwa malam menutup siang. Penggalannya adalah Allah
”menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.”.
Kedua, yang berlangsung dengan cepat adalah peristiwa siang mengikuti malam.
Penggalannya adalah Allah menutupkan malam kepada ”siang yang
mengikutinya dengan cepat.”. Kita akan menguji yang kedua lebih dahulu.
Seperti kita ketahui, setelah malam tiba, kita harus menunggu berjam-jam untuk
menjumpai siang lagi. Ini berarti bahwa siang tidak mengikuti malam dengan
cepat. Artinya, kemungkinan penafsiran kedua adalah salah. Dengan demikian,
yang benar adalah penafsiran pertama, yaitu bahwa peristiwa penutupan malam
kepada siang berlangsung cepat.
Peristiwa
penutupan malam kepada siang yang berlangsung cepat berimplikasi bahwa di
antara siang dan malam tidak ada waktu peralihan atau waktu di tengah atau
waktu tumpang tindih (overlapping). Setelah siang ditarik, yang terjadi
adalah malam (36:37). Begitu malam tiba, tidak ada waktu yang selainnya
karena sudah tertutup malam. Begitu siang tiba, tidak ada waktu yang selainnya karena
sudah tertutup siang. Ini juga berarti bahwa dalam suatu waktu hanya ada satu
nama waktu, yaitu siang atau malam.
Sampai di sini
dapat diringkas bahwa waktu dalam sehari dikelompokkan menjadi 2 kelas utama,
yaitu siang dan malam. Dengan demikian, dalam satu waktu, hanya ada satu nama
waktu, yaitu siang atau malam. Waktu siang mungkin dibagi lagi menjadi beberapa
kelas yang lebih rendah tingkatannya, seperti pagi, tengah siang, dan sore.
Waktu malam mungkin dibagi lagi menjadi beberapa kelas yang lebih rendah
tingkatannya, seperti petang, tengah malam, dan fajar. Artinya, malam dan
petang atau siang dan pagi adalah tidak satu tingkat dalam klasifikasi waktu
dalam sehari.
Kapan suatu keadaan disebut malam? Kali
ini penulis akan menggunakan pendekatan waktu shalat dalam 17:78.
17:78. Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
(versi Depag RI)
Ada dua kata yang perlu dibahas lebih
dahulu, yaitu tergelincir dan gelap. Kata
tergelincir dalam konteks ayat 17:78 berarti mulai bergeser turun. Kata gelap tidak
tepat karena sebagai kata benda bentuk seharusnya adalah kegelapan (darkness).
Dalam terjemahan versi Abdullah Yusuf Ali, bagian yang diterjemahkan
menjadi tergelincir tersebut diterjemahkan menjadi penurunan
matahari (the decline of the sun). Penulis menganggap keduanya
berarti sama. Kemudian, waktu shalat dari matahari bergeser turun sampai
kegelapan malam adalah kisaran waktu yang orang dapat shalat di dalamnya.
Artinya, itu tidak berarti bahwa orang harus shalat dengan durasi sejak
matahari bergeser turun sampai kegelapan malam.
Ada yang
menafsirkan bahwa matahari bergeser turun dimulai dari tengah hari atau
meridian (matahari kurang lebih berada di atas kepala). Jika waktu shalat di
mulai dari ketika matahari di atas kepala sampai kegelapan malam, waktu shalat
tersebut akan terlalu panjang. Orang dapat shalat ketika matahari di atas
kepala atau beberapa menit menjelang kegelapan malam tiba. Jika demikian, orang
tidak perlu shalat lagi ketika hari sudah gelap jika sudah shalat pada
pertengahan siang. Oleh karena itu, penafsiran semacam ini tidak tepat.
Selain itu,
pengamatan posisi matahari berasumsi bahwa wajah pengamat menghadap ke satu
arah tertentu. Pada saat wajah menghadap ke depan, mata tidak bisa melihat
matahari ketika berada di atas kepala sehingga matahari tidak akan tampak
turun. Jika wajah menghadap ke atas, matahari memang akan kelihatan tetapi
tidak tampak menurun melainkan tampak seperti berjalan mendatar.
Matahari akan
tampak menurun jika wajah mengahadap ke depan dan matahari sudah agak condong
ke bawah. Akan tetapi, waktu ketika matahari mulai turun menjadi masalah karena
waktu tersebut akan bervariasi tergantung pada penafsiran tiap orang. Waktu
ketika matahari mulai turun yang bersifat unik dan tidak tergantung pada
panafsiran orang adalah ketika bola matahari mulai menyentuh horison. Gerakan
matahari sejak menyentuh horison sampai tidak kelihatan lagi benar-benar persis
seperti benda yang sedang turun, yaitu turun dari atas ke bumi. Sebagai
penunjuk waktu shalat, tanda alam berupa peristiwa bola matahari menyentuh
horison adalah sangat jelas dan tidak menimbulkan penafsiran bervarisi. Oleh
sebab itu, matahari tergelincir dalam 17:78 bermakna
matahari terbenam atau tenggelam.
Tambahan,
penurunan matahari adalah suatu peristiwa, bukan posisi matahari mulai turun.
Artinya, yang dijadikan batas awal waktu shalat adalah suatu peristiwa, yaitu
penurunan matahari. Sebagai batas waktu, peristiwa tersebut haruslah
berlangsung relatif singkat sehingga batasnya menjadi jelas. Jika berlangsung
lama, batas waktu tersebut akan bervariasi tergantung pada penafsiran
masing-masing orang. Artinya, sepanjang ditentukan berdasarkan peristiwa
penurunan matahari terjadi, hasil penafsiran batas waktu yang diperoleh akan
menjadi dianggap benar. Semakin lama peristiwa tersebut, variasi penafsiran
batas waktu semakin besar. Peristiwa penurunan matahari yang relatif singkat
adalah ketika bola matahari mulai menyentuh horison sampai tidak kelihatan sama
sekali. Oleh sebab itu, awal waktu shalat yang dijelaskan dalam 17:78 adalah
ketika matahari terbenam, bukan ketika tengah hari (meridian).
KEJANGGALAN DEFINISI MALAM VERSI LAIN
Ada yang mendefinisikan
bahwa malam adalah waktu sejak matahari terbenam sampai terbit fajar. Definisi
ini janggal karena menggunakan dasar klasifikasi ganda. Dalam penentuan
permulaan malam digunakan dasar berupa kenampakan matahari sedangkan dalam
penentuan akhir malam digunakan dasar berupa kenampakan cahaya matahari.
Definisi ini tidak sesuai dengan Al Qur’an, seperti yang telah didiskusikan
sebelumnya dalam makalah ini.
Definisi malam
yang lain menerangkan bahwa malam adalah waktu ketika hari sudah gelap. Menurut
mereka, malam adalah gelap dan siang adalah terang. Mereka menganggap bahwa
keadaan setelah matahari terbenam adalah masih terang atau belum gelap sehingga
belum termasuk malam. Bagi mereka, malam adalah waktu ketika hari sudah
benar-benar gelap. Oleh sebab itu, orang yang berbuka puasa Ramadhan sejak
matahari terbenam dianggap bersalah oleh mereka karena berbuka terlalu awal.
Jika keadaan
setelah matahari terbenam dianggap masih terang, berarti waktu itu masih
dianggap termasuk siang karena siang bersifat terang. Seiring dengan perjalanan
waktu, penurunan intensitas cahaya akan terjadi. Pada intensitas cahaya
berapa lux keadaan masih dianggap terang? Jawabannya tidak ada
di Al Qur’an. Demikian pula, pada intensitas cahaya berapa lux keadaan
sudah dianggap gelap? Jawabannya tidak ada di Al Qur’an. Dengan demikian,
anggapan siang masih berlanjut sampai satelah matahari terbenam menimbulkan
masalah dalam menentukan waktu siang berakhir. Jika anggapan ini dipegang,
orang akan menggunakan keinginan (nafsu) manusia sebagai dasar penentuan akhir
siang atau awal malam.
Walapun
demikian, di antara mereka ada yang percaya bahwa salah satu tepi siang yang
disebut dalam 11:114 adalah waktu dari matahari terbenam sampai kegelapan malam
seperti yang dijelaskan dalam 17:78. Sesuai dengan artinya, tepi siang adalah
bagian paling pinggir atau paling luar dari siang sehingga dalam tepi siang
tidak mengandung waktu yang termasuk siang. Jika mereka benar-benar meyakini
bahwa tepi siang dimulai sejak matahari terbenam, mereka seharusnya meyakini
bahwa sejak matahari terbenam, waktu siang telah berakhir karena waktu matahari
terbenam menjadi bagian siang paling luar. Akan tetapi, mereka menganggap bahwa
waktu ketika matahari terbenam adalah masih termasuk siang karena dianggap
masih terang. Jadi, ada kejanggalan di sini. Sebaliknya, jika siang dianggap
berakhir setelah keadaan dianggap gelap, misalnya beberapa menit setelah
matahari terbenam, tepi siangnya menjadi mundur, yaitu dimulai dari waktu
ketika matahari terbenam ditambah beberapa menit. Dengan demikian, definisi
tepi siangnya menjadi tidak sesuai dengan yang diterangkan dalam 17:78. Atau,
jangan-jangan malah waktu setelah terbenam matahari yang dikatakannya sebagai
masih terang dianggap bukan siang? Jika demikian kasusnya, ini merupakan bentuk
kejanggalan yang lain lagi.
Barangkali,
jika saja mau meresapi bahwa suatu proses membutuhkan waktu, orang akan dengan
mudah memahami bahwa malam dimulai sejak matahari terbenam. Memang benar bahwa
malam bersifat gelap. Namun, sebelum menjadi gelap, malam harus melampaui tahap
peralihan dari terang menjadi gelap. Ini berarti bahwa meskipun keadaan masih
terlihat terang, dapat saja suatu waktu sudah termasuk malam. Keadaannya
mungkin seperti proses perubahan dari bayi menjadi manusia dewasa. Seperti
telah kita ketahui bahwa manusia mempunyai sifat dapat berbicara dan berjalan
tegak dengan dua kaki. Walaupun demikian, bayi tetap dianggap sebagai manusia
meskipun tidak dapat berbicara dan berjalan tegak dengan dua kaki.
1.5 Kemiskinan
Menurut bahasa, miskin berasal dari
bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat. Allah Swt.
menggunakan istilah itu dalam
firman-Nya:
]أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ[
“..atau orang miskin yang sangat fakir”
(QS al-Balad [90]: 16)
Adapun kata fakir yang berasal dari
bahasa Arab: al-faqru, berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj). Allah Swt. berfirman:
]فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ
مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ[
“…lalu dia berdoa, “Ya Rabbi,
sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan
kepadaku” (QS al-Qashash [28]:24).
Dalam pengertian
yang lebih definitif, Syekh An-Nabhani mengategorikan yang punya harta (uang),
tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sementara
itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya
penghasilan. (Nidzamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 236, Darul
Ummah-Beirut). Pembedaan kategori ini
tepat untuk menjelaskan pengertian dua pos mustahiq zakat, yakni al-fuqara
(orang-orang faqir) dan al-masakiin (orang-orang miskin), sebagaimana
firman-Nya dalam QS at-Taubah [9]: 60.
Kemiskinan atau
kefakiran adalah suatu fakta, yang dilihat dari kacamata dan sudut mana pun
seharusnya mendapat pengertian yang sesuai dengan realitasnya. Sayang peradaban
Barat Kapitalis, pengemban sistem ekonomi Kapitalis, memiliki gambaran/fakta
tentang kemiskinan yang berbeda-beda. Mereka menganggap bahwasannya kemiskinan
adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang ataupun
jasa secara mutlak. Karena kebutuhan berkembang seiring dengan berkembang dan
majunya produk-produk barang ataupun jasa, maka –mereka menganggap–usaha
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas barang dan jasa itu pun mengalami
perkembangan dan perbedaan.
Akibatnya,
standar kemiskinan/kefakiran di mata para Kapitalis tidak memiliki
batasan-batasa yang fixed. Di AS atau di negara-negara Eropa Barat misalnya,
seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sudah
dianggap miskin. Pada saat yang sama, di Irak, Sudan, Bangladesh misalnya,
seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya, tidak dikelompokkan
dalam kategori fakir/miskin. Perbedaan-perbedaan ini–meski fakta tentang
kemiskinan itu sama saja di mana pun–akan mempengaruhi mekanisme dan cara-cara pemecahan
masalah kemiskinan.
Berbeda halnya
dengan pandangan Islam, yang melihat fakta kefakiran/kemiskinan sebagai perkara
yang sama, baik di Eropa, AS maupun di negeri-negeri Islam. Bahkan, pada zaman
kapan pun, kemiskinan itu sama saja hakikatnya. Oleh karena itu, mekanisme dan
cara penyelesaian atas problem kemiskinan dalam pandangan Islam tetap sama,
hukum-hukumnya fixed, tidak berubah dan tidak berbeda dari satu negeri ke
negeri lainnya. Islam memandang bahwa kemiskinan adalah fakta yang dihadapi umat
manusia, baik itu muslim maupun bukan muslim.
Islam memandang
bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
primer secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan kebutuhan primer itu
(yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang, pangan,
dan papan. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ[
“Kewajiban ayah adalah memberikan makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf” (QS al-Baqarah [2]:233).
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ
وُجْدِكُمْ[
“Tempatkanlah mereka (para istri) di
mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemmpuanmu” (QS ath-Thalaaq [65]:6).
Rasulullah saw. bersabda:
“Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian
adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan
makanan” (HR Ibnu Majah).
Dari ayat dan
hadis di atas dapat di pahami bahwa tiga perkara (yaitu sandang, pangan, dan
papan) tergolong pada kebutuhan pokok (primer), yang berkait erat dengan
kelangsungan eksistensi dan kehormatan manusia. Apabila kebutuhan pokok
(primer) ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau
kemunduran (eksistensi) umat manusia. Karena itu, Islam menganggap kemiskinan
itu sebagai ancaman yang biasa dihembuskan oleh setan, sebagaimana firman Allah
Swt.“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan” (TQS al-
Baqarah [2]:268).
Dengan demikian,
siapa pun dan di mana pun berada, jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan
pokok (primer)nya, yaitu sandang, pangan, dan papan, dapat digolongkan pada
kelompok orang-orang yang fakir ataupun miskin. Oleh karena itu, setiap program
pemulihan ekonomi yang ditujukan mengentaskan fakir miskin, harus ditujukan
kepada mereka yang tergolong pada kelompok tadi. Baik orang tersebut memiliki
pekerjaan, tetapi tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan cara
yang makruf, yakni fakir, maupun yang tidak memiliki pekerjaan karena PHK atau
sebab lainnya, yakni miskin.
Jika tolok ukur kemiskinan Islam dibandingkan
dengan tolok ukur lain, maka akan didapati perbedaan yang sangat mencolok.
Tolok ukur kemiskinan dalam Islam memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari
tolok ukur lain. Sebab, tolok ukur kemisknan dalam Islam mencakup tiga aspek
pemenuhan kebutuhan pokok bagi individu manusia, yaitu pangan, sandang, dan
pangan. Adapun tolok ukur lain umumnya hanya menitikberatkan pada pemenuhan
kebutuhan pangan semata. Tolok ukur kemiskinan dari berbagai versi dan
perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut.
Penyebab Kemiskinan
Banyak ragam
pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun, secara garis besar dapat
dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu
kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental
atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua,
kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas
SDM akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif,
bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural,
yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara
dalam mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab
utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural.
Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat.
Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak
hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju.
Kesalahan negara dalam mengatur urusan rakyat,
hingga menghasilkan kemiskinan struktural, disebabkan oleh penerapan sistem
Kapitalisme yang memberikan kesalahan mendasar dalam beberapa hal, antara lain:
A. Peran Negara
Menurut
pandangan kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi,
harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan, diharapkan negara hanya berperan
dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata. Lalu, siapa yang berperan
secara langsung menangani masalah sosial dan ekonomi? Tidak lain adalah
masyarakat itu sendiri atau swasta. Karena itulah, dalam masyarakat kapitalis
kita jumpai banyak sekali yayasan-yayasan. Di antaranya ada yang bergerak
dibidang sosial, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, kita jumpai pula
banyak program swatanisasi badan usaha milik negara.
Peran negara
semacam ini, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai
pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam
menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat dibiarkan
berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan
yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya,
diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang
kuat dia yang menang dan berhak hidup. Kesenjangan kaya miskin di dunia saat
ini adalah buah dari diterapkannya sistem Kapitalisme yang sangat individualis
itu. Dalam pandangan kapitalis, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung
jawab si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi umat,
negara, atau kaum hartawan. Sudah saatnya kita mencari dan menerapkan sistem
alternatif selain Kapitalisme, tanpa perlu ada tawar-menawar lagi.
1.6 Kematian
Islam memberikan ajaran bahwa semua yang
hidup pasti akan menemui ajal atau kematian. Kematian tidak akan bisa dicegah
dan dielakkan. Umur seseorang ada yang dipanjangkan dan sebaliknya dipendekkan.
Bahkan, panjang atau pendek umur seseorang berada pada wilayah takdir Allah.
Tidak akan ada seorangpun yang mengetahui tentang kepastian umur itu.
Oleh karena itulah,seorang muslim tatkala
mendengar berita kematian, maka dianjurkan untuk segera mengucapkan inna
lillahi wa inna ilaihi roojiuun, atau bahwa sesuangguhnya semua itu adalah
milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kematian seharusnya dianggap sebagai
sesuatu yang lazim. Semua makhluk berasal dari Allah, dan pada saatnya akan
kembali. Seseorang yang menemui ajalnya, maka artinya, ia telah kembali ke
asalnya, yaitu Dzat Yang Maha Pencipta.
Menurut agama Islam, seseorang yang menemui ajalnya atau mati dianggap tidak masalah. Peritiwa itu adalah lazim terjadi, atau hal biasa, dan bahkan harus terjadi. Seseorang yang meninggal dunia dalam keadalaan muslim dianggap tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan atau ditakutkan. Kematian itu baru melahirkan masalah, manakala seseorang tatkala meninggal dunia tersebut dalam keadaan tidak sebagai seorang yang beriman.
Seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan beriman, maka dijanjikan oleh Allah akan ditempatkan pada tempat yang mulia. Peristiwa kematian hanya dimaknai sebatas berpindah tempat, yaitu dari kehidupan di dunia kemudian beralih ke alam kubur dan berlanjut ke alam yang lebih kekal, yaitu akherat. Bagi siapapun, yang beriman dan bertaqwa, dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan kebahagiaan yang tidak terputus-putus apalagi jika tujuan utama pernikahansangat baik. Oleh karena itu, kematian tidak perlu dianggap menjadi sebuah persoalan.
Firman Allah :
مَّ
أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَىٰ طَائِفَةً مِنْكُمْ
ۖ وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ
ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۖ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ
إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ ۗ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ
ۖ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا ۗ قُلْ
لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَىٰ
مَضَاجِعِهِمْ ۖ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي
قُلُوبِكُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Artinya
"Katakanlah:
Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan
akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah
(berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk
membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (QS Ali
Imran, 3:154)
Dalam
tuntunan Islam, seseorang harus mempersiapkan datangnya peristiwa yang pasti
akan terjadi itu seperti gambaran hari kiamat menurut alquran yang
sering kita dengar. Persiapan itu berupa bekal, ialah berupa keimanan yang
selalu terpelihara dan amal shaleh yang dilakukan secara ikhlas. Jika kedua hal
itu sudah dipersiapkan sepenuhnya, maka dalam hidup ini tidak perlu ada yang
dikhawatirkan lagi.
Kapan dan di mana pun, kematian itu harus diterima secara ikhlas, baik oleh yang bersangkutan maupun keluarga dan oleh semuanya. Selain itu, sebagai seorang yang selalu menjaga keimanan dan ke-Islamannya, maka hendaknya selalu berharap dan memohon kepada Allah, agar meninggal dengan khusnul khotimah.
Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.
Kapan dan di mana pun, kematian itu harus diterima secara ikhlas, baik oleh yang bersangkutan maupun keluarga dan oleh semuanya. Selain itu, sebagai seorang yang selalu menjaga keimanan dan ke-Islamannya, maka hendaknya selalu berharap dan memohon kepada Allah, agar meninggal dengan khusnul khotimah.
Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda : "amalan2 itu tergantung akhirnya"..
Mari senantiasa perbaiki diri. Karena waktu, jam, menit, detik kapan kita meninggal tiada yang mengetahui selain ALLAH (wawanislam quote)
Wallahu a’lam
Ya Allah, jagalah kami, naungilah kami dengan hidayah dan taufiq-MU, matikan kami dalam keadaan khusnul khatimah. Aamiin...
1.7 Kehilangan
Setiap
manusia pasti pernah mengalami kehilangan dalam hidupnya entah itu berupa harta
benda, teman, pasangan (suami-isteri), saudara atau bahkan pada akhirnya
jiwanya.
Saya mencoba merenung, apakah kehilangan hanya sekedar sesuatu hal yang terjadi tanpa hikmah atau adakah sebuah pelajaran yang bisa ditarik ketika hal tersebut terjadi? Setelah merenung sejenak akhirnya saya merasa takjub dengan besarnya pelajaran yang dapat diambil dari kehilangan. Berikut adalah pelajaran-pelajaran yang dapat saya tarik dari kehilangan:
1. Mengajarkan bahwa dunia itu semu
Saya mencoba merenung, apakah kehilangan hanya sekedar sesuatu hal yang terjadi tanpa hikmah atau adakah sebuah pelajaran yang bisa ditarik ketika hal tersebut terjadi? Setelah merenung sejenak akhirnya saya merasa takjub dengan besarnya pelajaran yang dapat diambil dari kehilangan. Berikut adalah pelajaran-pelajaran yang dapat saya tarik dari kehilangan:
1. Mengajarkan bahwa dunia itu semu
Dunia itu fana. Alam materi yang saat ini kita rasakan tidaklah kekal. Harta, Jabatan, Usaha, Pasangan, Saudara, Semua. Hanya masalah waktu saja sebelum kehilangan itu terjadi. Betapa keras usaha kita untuk mempertahankannya suatu saat pasti akan juga hilang dari genggaman. Dengan menyadari dunia itu semu, sudah semestinya kita mengejar sesuatu yang kekal: Akhirat!
2. Mengajarkan tentang Siapa Pemilik Sejati
Kehilangan mengajarkan kepada kita bahwa apa-apa yang kita miliki sekarang ini sebenarnya bukanlah milik kita. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Dialah Pemilik semua yang ada di langit dan di bumi. Apa yang ada pada kita sekarang ini adalah titipan. Benar-benar titipan! Kalau itu milik kita, maka bukankah seharusnya kita dapat mempertahankannya agar ia tidak hilang?
Dengan menyadari bahwa semua yang ada pada kita adalah titipan (amanah) dari Allah maka ketika titipan tersebut diambil oleh Allah kita akan merasa lebih lapang dada.
3..Mengajarkan kita untuk bersyukur
Kadang kita baru menyadari betapa berharganya sesuatu atau seseorang bagi diri kita ketika ia hilang. Namun apakah kita akan menunggu sampai sesuatu atau seseorang tersebut itu hilang untuk menyadari bahwasanya mereka begitu berarti? Itu pilihan kita masing-masing.
Selanjutnya, setelah kita menyadari akan berharganya sesuatu atau seseorang maka hendaknya kita bersyukur. Jika kita masih memiliki orangtua maka bersyukurlah dengan berbuat baik dan berbakti kepada keduanya. Jika kita masih memiliki saudara maka bersyukurlah dengan memperhatikannya. Jika kita masih memiliki anak maka bersyukurlah dengan merawat dan mendidiknya. Karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kita akan bisa terus bersama mereka.
Kemudian jika kita masih memiliki anggota tubuh yang lengkap maka bersyukurlah dengan menggunakannya untuk beramal baik pada setiap kesempatan. Cobalah untuk membayangkan jika besok kita kehilangan mata kita? kira-kira apa yang akan kita lakukan sekarang? Akankah kita berleha-leha atau menggunakannya untuk melihat hal-hal yang buruk atau sebaliknya? Mungkin ketika kita menjadi buta barulah kita akan berkata "seandainya aku masih bisa melihat sekarang maka aku pasti akan membaca Al Quran setiap hari walau satu ayat."
Dengan mengingat bahwa apa yang kita punyai tidak
kekal maka kita (seharusnya) akan senantiasa bersyukur dengan berbagai cara
selagi kita masih memilikinya.
4.Peringatan
Saya pernah membaca sebuah kisah nyata. Ada seseorang yang menabung untuk naik haji. Lalu, ketika uang sudah terkumpul cobaan datang. Ia ditawari oleh seseorang untuk menanamkan modal dalam suatu bidang usaha yang keuntungannya begitu menggiurkan. Akhirnya uang yang tadinya diniatkan untuk membiayai ongkos naik haji tersebut malah dipakainya untuk investasi. Karena ia berpikir jika nanti ia mendapat keuntungan dari usaha tersebut maka uangnya bisa dipakai juga untuk ongkos naik haji. Namun, tidak lama berselang usaha tersebut habis terbakar. Jadi ternyata kehilangan juga bisa menjadi suatu peringatan akan kekhilafan yang kita lakukan.
5.Cobaan
Kehilangan tak jarang merupakan suatu cobaan yang dapat menghapuskan dosa-dosa jika kita bersabar.Tidaklah sekali-kali seorang mukmin tertimpa kesulitan, kecemasan, kepayahan, dan kesedihan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah menghapuskan karenanya sebagian dari dosa-dosanya (HR. Bukhari dan Muslim)
4.Peringatan
Saya pernah membaca sebuah kisah nyata. Ada seseorang yang menabung untuk naik haji. Lalu, ketika uang sudah terkumpul cobaan datang. Ia ditawari oleh seseorang untuk menanamkan modal dalam suatu bidang usaha yang keuntungannya begitu menggiurkan. Akhirnya uang yang tadinya diniatkan untuk membiayai ongkos naik haji tersebut malah dipakainya untuk investasi. Karena ia berpikir jika nanti ia mendapat keuntungan dari usaha tersebut maka uangnya bisa dipakai juga untuk ongkos naik haji. Namun, tidak lama berselang usaha tersebut habis terbakar. Jadi ternyata kehilangan juga bisa menjadi suatu peringatan akan kekhilafan yang kita lakukan.
5.Cobaan
Kehilangan tak jarang merupakan suatu cobaan yang dapat menghapuskan dosa-dosa jika kita bersabar.Tidaklah sekali-kali seorang mukmin tertimpa kesulitan, kecemasan, kepayahan, dan kesedihan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah menghapuskan karenanya sebagian dari dosa-dosanya (HR. Bukhari dan Muslim)
KESIMPULAN
Manusia adalah
Ciptaan Allah Swt yang paling sempurna , dibekali oleh Ilmu , Akal dalam
menunjang kehidupannya di-dunia sebagai Khalifah , Meskipun beberapa manusia
mengklaim dirinya sempurna namun , setiap manusia selalu memiliki paranoid /
ketakutan sesuatu hal , bias hal sepele sampai hal yang mengancam Umat Mansuia
itu sendiri .
Sebagai
ciptaan Allah Seharusnya kita bersyukur menerima apa yang dikaruniakan Allah
kepada kita , Ketakutan adalah hal normal , tapi jangan jadikan alas an kita
kufur dan berpaling dari kenikmatan sesaat , Sesungguhnya Ketakutan terbesar
adalah ketakutan terhadap Allah SWT .